Madrasah Orientalisme Di Belanda[1]
Oleh: Era Findo al-Faqih[2]
Dalam sebuah buku yang di karang oleh DR. Qasim as-Samaraiiy, yang berjudul; al-Isytisrak Bainal Maudhuiyyah Wal Iftia’aliyah, beliau menjelaskan bahwa bentuk kerja nyata yang dilakukan oleh para orientalisme yang ada di Belanda ini adalah serupa coraknya dengan praktek-praktek kerja nyata yang di lakukan oleh para orientalisme yang ada di eropa.
Sungguh para orientalisme yang ada di Belanda itu sangat besar perhatian mereka terhadap bahasa Arab dan mu’jam-mu’jam yang yang ada di negeri Arab. Hal ini berbanding lurus dengan perhatian mereka terhadap pentahkikan yang mereka lakukan terhadap nas-nas bahasa Arab. Bahkan mereka menciptakan percetakan sekaligus mereka melakukan pecetakan terhadap buku-buku keislaman dan kaum muslimin.
Diantara orientalisme Belanda yang paling kesohor adalah Christian Snouck Hurgronje (1857-1936M). Bahkan untuk mengambil simpati dari kaum muslimin dan untuk memuluskan kepentingan yang beliau emban bagi orientalisme, maka dia ganti namanya Menjadi H. Abdul Ghaffar. Untuk itu ia pergi ke Mekkah. Di negeri itulah ia mengganti dan memproklamirkan nama yang baru Itu. Tidak tanggung-tanggung, untuk memuluskan keperluannya, ia rela menetap di Mekkah selama enam bulan. Maka dengan keislaman dan dengan sikap santunnya yang tinggi, mengalirlah rasa simpati dan empati dari berbagai pihak kepadanya. Termasuk para ulama dan para penguasa negeri itu. Setelah itu dia pergi ke Indonesia untuk mengaplikasikan misi dan rencananya.
Selain Hurgronje, masih terdapat orientalis-orientalis yang lain yang cukup disignifikan perannya. Diantarannya yaitu: Michael Jan De Goje (1836-1909M), Wensink Arnet Jan (1882-1939M). Wensink inilah yang menulis kitab Mu’jam Mufahras LI Al-Fazhil Hadits an-Nabawiy. Sungguh terdapat pembahasan yang menarik untuk kita kaji bersama seputar buku beliau ini. Sebab ternyata dalam penyusunan buku ini, beliau banyak sekali dibantu oleh ustadz Fuad Abdul Baqi. Sama-sama kita ketahui bahwa Fuad Abdul Baqi ini sangat besar jasanya terhadap perbukuan Islam. Terutama sekali dalam penyusunan hadits-hadits nabi SAW. Hal itu mungkin dapat kita lihat di kitab Luk Luk Wal Marjan. dan di kitab-kitab hadis yang lainnya. Bahkan dalam penerbitan kitab yang di karang oleh Wensink itu, beliau juga cukup banyak di bantu oleh pimpinan percetakan kitab tempat Wensink menerbitkan bukunya itu.[3]
Dari kisah ini, kita dapat menarik kesimpulan bahwa ternyata para orientalis sangat lemah terhadap ilmu alat. Ilmu alat disini dapat kita bahasakan dengan pengetahuan mereka terhadap bahasa Arab. Pun terhadap literatur-literatur keislaman dari berbagai segi mereka juga lemah. Tak hanya berhenti disitu, ternyata Wensink juga ada mengarang buku dalam pembahasan aqidah Islamiah. Sungguh ini adalah sebuah jebakan bagi umat Islam. Dengan arti kata, bahwa kita harus berhati-hati terhadap buku-buku keislaman yang mereka karang.
Dan bagi Belanda ada markaz tersendiri bagi mereka dalam melaksanakan aktifitasnya. Markaz itu bernama: Markaz Lil Buhuts Wad Dirasat al-Arabiah. Markaz ini bertempat di Mesir.
Di negara Belanda terdapat sebuah universitas yang terkenal, universitas itu bernama universitas Leiden ( disinilah dahulunya Christian Snouck Hurgronje menamatkan pendidikan Strata satunya). Pada abad ke-21, tepat pada tanggal 3-7 Februari tahun 1996, universitas ini mengadakan muktamar sedunia seputar keislaman. Dalam pelaksanaan muktramar itu mereka di bekerja sama dengan Wizaratus Syuunid Diniyyah atau departemen keagamaan Indonesia. Muktamar itu sempat dihadiri oleh 120 (seratus dua puluh) pemateri yang berasal dari berbagai penjuru dunia. Dalam muktamar itu ada tiga garis besar pembahasan yang dapat mereka hasilkan, yaitu seputar:
1. Islam dan masyarakat di dunia
2. Islam dan perkembangannya
3. Islam dan pendidikan
Dan telah berlangsung pula muktamar yang kedua secara resmi di Mesir. Namun muktamar yang ketiga belum terlaksana hingga sekarang.
Gembong-gembong orientalis Belanda Yang terkenal:
1. Rienhart Dozy (1820-1883M)
Dia dilahirkan pada 21 Februari 1920M. di kota Leiden. Dia memulai mempelajari bahasa Arab dari jenjang Tsanawiah. Kemudain beliau lanjutkan ke jenjang univesitas. Pada tahun1881 M, beliau berhasil meraih gelar doktor dengan disertasi yang berjudul: Akhbar Bani A’yyad A’nil Kitab al-A’rabiy.
Beliau sangat memusatkan perhatiannya dalam mempelajari manuskrip-manuskrip Arab. Serta lebih beliau khususkan perhatiannya dalam mempelajari kitab adz-Dzakhirah yang dikarang oleh Ibnu Bassam. Beliau juga mempelajari sejarah kaum muslimin di Andalusia. Dengan itu berhasillah beliau menulis sebuah buku yang beliau karang tentang sejarah, dengan judul: Tarikh al-Muslimin Fi Asbania. Yang terdiri dari beberapa jilid.
2. Michael Jan De Goje (1836-1909M)
Dia dilahirkan pada 9 Agustus 1836 M. di universitas Leiden, dia khususkan pendidikannya dalam mempelajari masalah ketimuran. Dalam hal itu dia berguru kepada Rienhart Dozy. Beliaupun berhasil menyelesaikan gelar doktoral dengan judul disertasi: Namuzat Minal Kitaabaat as-Syarqiah Fi Washfil Maghrib Makhuzun Min Kitab al-Buldan Lil ya’qubiy. Kemudian beliau mengabdikan dirinya untuk menjadi dosen di universitas itu.
Sangat besar perhatian beliau dalam mempelajari masalah geoghrafi. Serta sejarah-sejarah Islam. Dengan usaha yang beliau lakukan, maka dapatlah beliau mentahkik kitab Futuhal Buldan yang dikarang oleh al-Balazariy. Tak berhenti disitu, beliau pun turut serta dalam mentahkik kitab Tarikh at-Thabariy.
3. Christian Snouck Hurgronje ( 1857-1936M)
Dia dilahirkan pada 9 Februari 1857 M. beliau memulai studinya di Lahut. Kemudian beliau memulai mempelajari bahasa Arab Adapun guru pertama Hurgronje dalam mempelajari bahasa Arab dan Islam kepada Michael Jan De Goje (keterangan tentang beliau dapat kita baca pada pembahasan tentang data dirinya di pembahasan sebelum pembahasan Hurgronje ini. Beliaupun belajar dari para orientalis-orientalis yang lain. Pada tahun 1880 M, beliau berhasil menyelesaikan disertasi dengan judul: Haulal Hajji Ila Makkah Mukarramah.
Pada tahun 1891 Snouck tiba di Aceh. Sungguh tak seorang pun warga Aceh yang merasa curiga. Keislaman dan pengetahuannya yang luas membuat Snouck diterima sebagai seorang saudara. Tujuh bulan di Peukan, Snouck bergaul amat rapat dengan ulama. Dan dengan diam-diam, hampir setiap malam, dia mencatat semua percakapannya dengan kaum ulama, struktur masyarakat Aceh, dan kedudukan ulama di mata rakyat. Lalu, dengan rapi catatannya itu dia persembahkan pada Gubernur Jenderal di Batavia.
Dia pun berpesan kepada pemerintah Belanda,Yaitu: Satu-satunya cara menumpas rakyat Aceh adalah dengan membantai ulamanya. Hanya ketakutan pada pembantaian saja yang bisa meredam rakyat Aceh untuk bergabung dengan kaum ulama.
Tak cukup dengan catatan itu, Snouck kemudian membuat buku, De Atjehers, yang memaparkan secara lengkap struktur masyarakat Aceh, kebudayaan, sampai posisi ulama. Segera buku itu menjadi terkenal, bahkan mendapat pujian dari para orientalis sebagai karya yang secara lengkap mengupas kebudayaan Islam di Aceh. Bagi Belanda, karya itu menjadi rujukan untuk menyusun taktik menghadapi perlawanan rakyat Aceh. Dan terbukti, Aceh pun kemudian dapat dikalahkan.
Muslim Politik
Sosok Snouck memang penuh warna. Bagi Belanda, dia adalah pahlawan yang berhasil memetakan struktur perlawanan rakyat Aceh. Bagi kaum orientalis, dia sarjana yang berhasil. Tapi bagi rakyat Aceh, dia adalah pengkhianat tanpa tanding! Namun, penelitian terbaru menunjukkan peran Snouck sebagai orientalis ternyata hanya kedok untuk menyusup dalam kekuatan rakyat Aceh. Dia dinilai memanipulasi tugas keilmuan untuk kepentingan politik.
Selain tugas memata-matai Aceh, Snouck juga terlibat sebagai peletak dasar segala kebijakan kolonial Belanda menyangkut kepentingan umat Islam. Atas sarannya, Belanda mencoba memikat ulama untuk tak menentang dengan melibatkan massa. Tak heran, setelah Aceh, Snouck pun memberi masukan bagaimana menguasai Jawa dengan memanjakan ulama.
Snouck berpendapat Islam bagi rakyat nusantara bukan semata-mata agama, melainkan ideologi gerakan, bahkan napas kehidupan. Karena itu, dia meminta Belanda untuk mulai mengebiri pengertian itu, dan melokalisasi gerakan keagamaan hanya menjadi semacam ritual. Dia ingin Belanda menerapkan politik "Islam Masjid", yakni memusatkan seluruh kegiatan agama hanya di masjid. Dia juga mendorong Belanda untuk mempermudah pelaksanaan haji, sebagai bujukan pada ulama.
Untuk memudahkan propaganda perbaikan kehidupan beragama itu, Snouck bahkan rela hidup sebagai muslim utuh. Di Ciamis, 1890, dia bahkan rela mengawini Siti Sadiyah, putri Raden Haji Muhammad Adrai untuk lebih diterima bergaul di kalangan ulama. Tak heran, banyak yang menyebut keislaman Snouck sebagai muslim politik, memeluk agama Islam hanya untuk mempermulus kepentingan politik Belanda. Cara yang licik luar biasa!
Snouck juga menganjurkan Belanda untuk menyingkirkan peran pesantren. Maka, Belanda pun membentuk sekolah-sekolah sekuler sebagai tandingan pesantren. Snouck bahkan terjung langsung dalam misi pendidikan itu, dan selama 17 tahun dia mencekoki anak ningrat dan menak di Jawa dengan pendidikan ala Eropa. Dia bahkan membantu anak-anak didiknya itu untuk sekolah lebih lanjut, bahkan mengirimnya ke Belanda. Semua dia lakukan agar Nusantara tak memiliki tokoh perlawanan spiritual. Praktis, setelah Aceh, Nusantara memang tak pernah lagi berjaya melawan Belanda.
Belajar sampai ke Mekkah
Christian Snouck Hurgronje lahir 8 Februari 1857 di Tholen, Oosterhout, Belanda. Seperti ayah, kakek, dan kakek buyutnya yang betah menjadi pendeta Protestan, Snouck pun sedari kecil sudah diarahkan pada bidang teologi. Tamat sekolah menengah, dia melanjutkan ke Universitas Leiden untuk mata kuliah Ilmu Teologi dan Sastra Arab, 1875. Lima tahun kemudian, dia tamat dengan predikat cum laude dengan disertasi Het Mekaansche Feest (Perayaan di Mekah). Tak cukup bangga dengan kemampuan bahasa Arabnya, Snouck kemudian melanjutkan pendidiklan ke Mekah, 1884. Di Mekah, keramahannya dan naluri intelektualnya membuat para ulama tak segan membimbingnya. Dan untuk kian merebut hati ulama Mekah, Snouck memeluk Islam dan berganti nama menjadi Abdul Ghaffar.
Namun, pertemuan Snouck dengan Habib Abdurrachman Az-Zahir, seorang keturunan Arab yang pernah menjadi wakil pemerintahan Aceh, kemudian "dibeli" Belanda dan dikirim ke Mekah, mengubah minatnya. Atas bantuan Zahir dan Konsul Belanda di Jedah JA Kruyt, dia mulai mempelajari politik kolonial dan upaya untuk memenangi pertempuran di Aceh. Sayang, saran-saran Habib Zahir tak ditanggapi Gubernur Belanda di Nusantara. Karena kecewa, semua naskah penelitian itu Zahir serahkan pada Snouck yang saat itu, 1886, telah menjadi dosen di Leiden.
Snouck seperti mendapat durian runtuh. Naskah itu dia berikan pada kantor menteri daerah jajahan Belanda. Snouck bahkan secara berani menawarkan diri sebagai tenaga ilmuan yang akan dapat memberikan gambaran lebih lengkap tentang Aceh.
Pada 1889, dia menginjakkan kaki di Jawa, dan mulai meneliti pranata Islam di masyarakat pribumi, khususnya Aceh. Setelah Aceh dikuasai Belanda, 1905, Snouck mendapat penghargaan yang luar biasa. Setahun kemudian dia kembali ke Leiden, dan sampai wafatnya, 1936, dia tetap menjadi penasihat utama Belanda untuk urusan penaklukan pribumi di Nusantara.[4]
4. Wensink Arnet Jan (1882-1939M)
Dalam masalah orientalis, dia banyak belajar dari Michael Jan De Goje, Snouck Hurgronje dan Sakhau. Beliau berhasil menyelesaikan disertasi doktoral, dengan judul: Muhammad Wal Yahud Fil Madinah, pada tahun 1908 M. Dan memulai karyanya dengan menulis kitab Mu’jam Mufahras Li Alfazil hadits asy-Ayarif. Dalam penulisan kitab itu, dia banyak mengambil rujukan dari kitab Miftah Kunuz as-Sunnah yang dikarang oleh Ustaz Fuad Abdul Baqi. Selain dari mengarang kitab Mu’jam, beliau pun mengarang kitab al-Aqidatul Islamiah Nasyatuha Wa Tathawwuriha at-Tarikhi.
5. Waardenburg Jacque
Dia dilahirkan pada 15 Maret 1930M. Mempelajari hukum di universitas Amsterdam.. Pada kurun waktu dari 1953-1956M, dia mempelajari bahasa Arab di universitas Amsterdam, di Leiden dan di Madrasah Lughaat as-Syarqiah al-Hayyah di Paris. Bahkan beliau dapat memperoleh beasiswa dari UNISCO untuk mengunjungi sebagian negara-negara arab dan daerah Islamiah, seperti: Fazzar di Iran, Libanon, Mesir, Yordania dan lain-lain.
Adapun judul disertasi doktoralnya di universitas Amsterdam itu adalah: al-Islam Fi Maratil Gharbi. Sempat pula dia menjadi tenaga pengajar di ma’had ad-Dirasat al-Islamiah di universitas Maqila di Kanada, dalam kurun waktu 1962-1963M. kemudian beliau melakukan perjanan ilmiah untuk kepentingan risetnya seputar universitas-universitas di dunia Arab. Mulai dari Tunisia, Libanon, Suria, Irak, Yordania dan lain-lain. Hingga dia dapat menghasilkan pembahasan yang mendalam di universitas Kalifornia, Los Angeles. Dan sempat pula beliau menjadi dosen di universitas Orthort di Belanda pada tahun 1968-1987M. kemudian beliau pindah ke universitas Lozan di Swiss. Dia menetap disana hingga tahun 1995 M.
Hingga akhirnya beliau memiliki beberapa karangan tentang pandangan keislaman. Seperti:
v al-Islam Fi Maratil Gharbi
v Waaqi’ al-Jaamia’t al-Arabiah (dua jilid)
v At-Tharqu al-Kalasikiah Lid Dirasatid Din
Beliau pun turut serta dalam penulisan buku: Daairatul Maa’rif al-Islamiah (cetakan kedua). Serta dia juga menulis sebuah buku yang khusus membahas tentang orang-orang orientalisme.
Daftar Pustaka
¨ El-Samaraiiy, Qasim. al-Istisyraq Bainal Maudhua’iyah wal iftiaa’liah . 1403 M/ 103 H.. Ar-Riyadh.
¨ Rasyid, Daud, Islam di tinjau Dari Berbagai Dimensi.
¨ Koran suara merdeka
¨ al-Madinah Center For The Studi Of orientalism, dari situs www.madinacenter.com
Ramsis nan permai, 17 Maret 2007
[1] Makalah ini dipresentasikan di asrama Raud al-Farog Ramses, pada tanggal 20 Maret 2007
[2] Mahasiswa strata satu di universitas al-Azhar Kairo Mesir, fakultas ushuluddin
[3] Islam Ditinjau Dari Berbagai Dimensi, DR.
[4] Koran Suara Merdeka, tahun 2004, oleh Aulia A. Muhammad
No comments:
Post a Comment